Kesucian itu ada, ada dalam kehidupan adapun dalam kematian di dunia maupun di akhirat. tidak kunjung datang dalam khayalan mimpi yang bergelengu hiasan bumi. AL-IMRAN Sebuah pesantren yang amat kecil walaupun bangunannya terbuat dari kayu-kayu kecil tapi suasananya menjadi hidup dan indah, dingdingnya penuh dengan warna kesucian dan di depan di penuhi tanaman hias dan bunga-bunga yang tersenyum berbau kasturi. Pesantren itu sangat terpoporit di Desa Sukahormat walapun terletak dekat pesawahan tapi sejuk dan indah, karena belakang pesantren pemandangan pesawahannya indah dan sunyi dengan suara-suara burung, katak, dan hembusan angin yang mambuat pesantren itu hidup di penuhi para ahli syurga. Karena waktu adalah Ilmu, satu tetes keringat sangat sayang jika terbuang sia-sia. Sem yang sedang mambacakan syair-syair Al-Qur’an dengan tenang dan tentram suaranya indah syair-syairnyapun sangat tepat, anak-anak Al-Imran selalu terharu ketika mendengar ayat-ayat yang di bacakan Sem. Jhoni yang datang ke kamarnya, dia orang terkaya di kampung Warga Makmur, walaupun dia tinggal di pesantren tapi kesombongannya selalu ada dalam
dirinya. Dia merasa dirinya itu puas dengan harta yang dia miliki, dia tidak sadar bahwa harta yang dia miliki adalah harta titipan Allah. Jhoni yang membuka pintu kamar Sem dengan kencang wajahnya sangat merah, matanya berubah menjadi api-api neraka “Sem, Loe itu kalau baca Al-Qur’an jangan keras dong, mengganggu orang lagi tidur saja, ngerti ora iki” sambil mendorong bajunya Sem sampai robek dan langsung pergi, Sem hanya bisa menganggukan kepalanya saja dengan kata “Astagfirullah” dihatinya “ Ya Allah, bajuku ……!!! Ini baju muslim satu-satunya yang aku miliki”.
dirinya. Dia merasa dirinya itu puas dengan harta yang dia miliki, dia tidak sadar bahwa harta yang dia miliki adalah harta titipan Allah. Jhoni yang membuka pintu kamar Sem dengan kencang wajahnya sangat merah, matanya berubah menjadi api-api neraka “Sem, Loe itu kalau baca Al-Qur’an jangan keras dong, mengganggu orang lagi tidur saja, ngerti ora iki” sambil mendorong bajunya Sem sampai robek dan langsung pergi, Sem hanya bisa menganggukan kepalanya saja dengan kata “Astagfirullah” dihatinya “ Ya Allah, bajuku ……!!! Ini baju muslim satu-satunya yang aku miliki”.
Jejen mendekati Sem dan mengajak Sem mengembala kambing dengan rayuannya. Karena waktu sudah sore dipesawahan angin yang berhembus membawa suasana keindahan pesawahan seolah menjadi sebuah istana yang penuh dengan keistimewaan, rumputnya yang hijau pohonnya yang berdiri dengan sempurna, burung-burung yang berterbangan dengan sayap-sayap cantiknya. Sem terkagum dengan semua itu, mata Sem terpanah oleh keindahan-keindahan yang ada “Tuhan betapa Maha Besarnya Engkau, Kau ciptakan semua itu dengan sempurna, cahaya-cahaya kemilau di pucuk rerumputan yang bergelantungan butiran-butiran embun yang cantik” mereka berdua menikmati semua itu, dan mereka melepaskan kambing-kambingnya. Bercanda, tertawa menjadi warna di hari itu. Langit seolah berubah menjadi mendung, hujanpun turun dan membasahi mereka berdua.
Adzan magrib yang bergumandang di telinga para santri, seperti biasa mereka sholat dan mengaji. Karena itulah yang mereka cari untuk bekal di akhirat nanti. Sem datang ke Masjid membawa kitab Zurumiah. Sem yang terdiam dengan wajah yang sedih. Jhoni mendekati Sem dan mendorong Sem keluar sampai terjatuh “Sem. ..Kamu itu mau ngaji apa mau ngeronda, ngaji kok pake pakaian pendek jelek lagi” semua santri mentertawakan Sem, rasa malu dan detakan jantung yang terdengar di telinganya. Matanya tidak terasa mengeluarkan permata-permata yang indah ”Ya Allah tenangkanlah hatiku ini” Sem pergi ke kamarnya dan menangisi bajunya yang robek itu. Malam yang berlalu laksana Adzan di suasana Subuh memanggil jiwa yang kian kukuh menembangkan syair kian luruh, menghembus napas kian menipis meropos tulang kian merapuh mengkerut kulit kian meluruh merupa saraf kian mememar dalam raga. Tidak terasa umur yang kian berkurang, mentari yang tersenyum dengan indahnya buaya sinar dan bintik-bintik embun yang tertidur di kelopak bunga-bunga yang bermekaran. Sem datang ke kamar Jejen dan mengajak Jejen kerumahnya. Rumahnya tidak jauh dari pesantren mungkin hanya beberapa kilometer saja. Jejen langsung terdiam dan terpaku ketika dia melihat rumah Sem, dingdingnya yang terbuat dari kayu atapnyapun mulai terlihat rapuh “Ya Allah, betapa malangnya mereka, rumahnya yang reod tidak layak lagi untuk dijadikan tempat tinggal. Ya Allah, berikanlah mereka ketabahan” ucapan Jejen dalam hati. Jejen tidak kuat menahan air matanya, dia menahan air mata itu tapi sedikit demi sedikit tidak tertahan juga air mata itu keluar setetes demi setetes. Tapi Jejen mencoba menjauhi Sem karena dia takut menyinggung hatinya Sem. “Jen, kenopo iki ? Ayo duduk, maaf ya Jen memang ini keadaan rumah aku yang sebenarnya” ucapan Sem. Dia menunggu orang tuanya Sem yang tidak tau pergi kemana. Jejen pulang duluan walapun dengan seribu alasan yang di pake untuk menghidari Sem.
Ibu dan bapaknya Sem datang mereka baru pulang mencari kayu bakar “Assalamu’alaikum, Le kapan kamu kesini” Tanya ibu Sem “Wa’alaikumssalam, Umi, Abi dari mana..?? Sem tadi pagi kesininya. Umi, Abi biarkan Sem ambilkan Minum ya” ucapan Sem dengan sopan karena rasa cinta yang Sem miliki pada mereka. Sem bingung untuk mengucapkan tujuan Sem pulang karena apa. Sem takut menyinggung dan menyakiti hati mereka “ada opo to Le kamu pulang” Tanya Bapaknya sambil mengusap-ngusap kepala Sem. Dengan napas yang dikeluarkan. Sem mencoba berbicara ” gini Abi, baju muslim Sem robek dan Sem ingin membeli baju yang baru. Semalam aja Sem tidak di bolehkan mengikuti pengajian oleh teman-teman Sem” sambil menundukan kepalanya “Le… uang dari mana Abi membelikan baju yang kamu inginkan, buat makan saja susah apa lagi buat beli baju, Le..... kan yang melarang kamu itu teman kamu tapi bukan Guru ngaji kamu” ucapan bapaknya “Iya to Le, bukannya Umi dan Abi tidak mau membelikan, tapikan Le juga tau kalau Umi dan Abi tidak punya uang” Sem tidak sadarkan diri “tapi kan Umi … Abi... masa Umi dan Abi tidak mau membelikan. Sem bingung…Kenapa Sem terlahir dari darah orang miskin” Sem marah dan sambil pergi dari rumahnya. Bapaknya langsung terbatuk mengeluarkan darah dan terjatuh pingsan “Ya Allah…. Abi.. kenapa Abi” ibunyapun terkaget melihat darah yang keluar dari mulut sangat banyak.“Ya Allah ampuni dosa anak kami itu mungkin dia khilap dengan semuanya” Sem yang bingung kemana mencari jawaban hati, bertanya pada langit tapi langit tidak peduli, bertanya pada awan tapi awan tidak mendengarkan, bertanya pada air tapi air terus mengalir “ku pergi mencari jawaban hati, ku pergi mencari tumpuhan hidup di saat hati mulai terabaikan di dalam bisikan nurani, kemana mencari jawaban diri terkubur dalam dosa” penyesalan yang ada dalam hati Sem. Ibu Sem yang menunggu Bapaknya sampai dia tersadar “ Abi…Abi sudah sadar” “Umi.. dimana Sem” “Sem pergi Abi. Abi jangan pikirkan dia ya” “Umi, tolong cari dia, biarkan Abi berbicara dengannya”
Sem datang kembali kerumahnya. dia melihat bapaknya yang tidak berdaya dan langsung memeluknya “Abi, maafkan Sem” air mata Sem terus mengalir karena rasa penyesalan yang telah dia perbuat. “ Le. ..kamu tidak bersalah, Abi lah yang bersalah. Le biarkanlah di detik-detik terakhir ini Abi memegang tangan kamu, Umi tolong ambilkan uang yang ada di bawah bantal Abi, Berikanlah uang itu pada Sem. Le uang itu untuk kamu membeli baju yang kamu inginkan. Le malaikat itu mulai melambaikan tanganya, tuntunlah Abi membaca Syahadat” Sem pun menuntun membaca syahadat, dan terlepaslah nyawa Bapaknya. Hari itu yang penuh air mata dan penyesalan ada dalam diri Sem. Bapaknya yang meninggal dengan tenang. Detik demi detik malam yang terus berubah menjadi siang, 1 minggupun berlalu. Syair-syair Al-Qur’an menjadi saksi kasih sayang Sem kepada Bapaknya “Le...Ini baju yang kamu inginkan” “ Umi, maafkan Sem, sekarang Sem tidak butuh baju ini yang Sem butuhkan Abi, Abi yang selalu memberika selimut hangat dalam diri Sem” “Udahlah Sem biarkanlah Abimu tenang di alam sana. Baju ini adalah amanah dari bapakmu, pakelah… ” diapun kembai ke pesantrenan dan memakai Baju itu. Do’a selalu ada dalam setiap nafasnya. Terpetiklah sebuah pelajaran dari kejadian itu bagi Sem.