You Are Here: Home - Novel - [Novel] Sayap – Sayap Kehidupan

Sorotan matahari mulai hilang di selimuti awan hitam yang mulai menangis. Air matanya mulai mambasahi sang bumi, satu tetes, dua tetes, air mulai turun, para dewa petirpun mulai menjerit-jerit, dengan tawa candanya membangunkan para bunga-bunga dan kumbang-kumbang yang mulai berlari menuju istananya. Siang itu seakan hilang keindahannya, air semakin banyak turun ke bumi dan mulai menginjakan para magma bumi yang sangat dalam.
Awan hitam mulai pergi tangisannyapun berhenti dengan cepat dan mengundang para peri-peri kecil, tujuh gadis itu bermain dia atas pelangi yang menuju kearah sungai yang indah. Mereka mengayunkan sayap-sayap indahnya. pawang hujan seakan telah mengundang mereka untuk datang kehapannya. Tubuhnya yang berwarna pelangi menjadikan satu titik kehidupan bagi mereka, kegelapan telah pergi dan datangnya masa penguasa kehidupan. Mereka bermain di atas sungai itu, tetesan air menjadi permata, hujan seakan terpanah oleh mereka angin yang mulai meniupkan syair-syair lagu untuknya. Awan putih mulai menari-nari, peri kecil bercanda dengan terlepas. Tiba-tiba tanda kehidupan menggoreskan kesedihan. Kini kebahagian menjadi segumpal aspal yang baru terlahir. Kesedihan kini merenggut para gadis-gadis itu.

Gadis Merah “wahai dunia, wahai para dewa-dewi, wahai para penyair, kesengsaraan, kebahagian dengarkanlah, kami adalah putri-putri keindahan aku adalah penguasa titik kehidupan”

Gadis Jingga “kelak kau telah menerbitkan peperangan, saat kami mulai terjatuh, sayap kami mulailah retak, kami tidak mampu lagi untuk mengayunkannya. Wahai dewa-dewi air dekaplah tubuh kami ini kedalam ukiran cahayamu”

Gadis Kuning “hitam..putih…kehidupan, itulah menjadi titik awal warna kehidupan kami, warna kami mulailah hilang terhempas angin. Satu titik kehidupan menjadi satu titik kematian”

Gadis Hijau “kembalikanlah warna kami, kembalilah kekuatan kami, putik-putik mahkota kami kini menjadi debu, dan kini kesengsaraan yang hanya kami miliki, wahai sayap-sayap putih sempurnakanlah kami dengan kekuatanmu, kini kau menjadi benalu di hati kami”

Gadis Biru “kami tidak berdaya, tulang rusuk kami rapuh dan mulai mengering, kulit kami mulai mengkerut, napas kami mulailah menipis, wahai para kesucian bantulah kami sebelum para murka mendekati kami dan merangkul kami”

Gadis Nila “kami merintih kesakitan, kami sangat lemah, kapan malaikat akan menjemput kami, kami menanti kematian yang tidak tertentu. Dari ujung kaki malaikat itu akan membawa kami dalam kesengsaraan”

Gadis Ungu “aku adalah kesempurnaan yang sangatlah lalai, kini cahaya kami mulailah meredup. Kini kekekalan musnah di hadapan bola mata kami, kini kami menanti kesempurnaan yang dulu kami miliki”
Tujuh peri itu berbicara dengan penuh kesengsaraan memecahkan butiran permata dalam raganya. Dunia ini tidak lagi berwarna, kini kegelapan mulai memegang kehidupan mereka. Tubuh mereka sedikit demi sedikit mulai hilang di makan ombak-ombak kecil, air mulai mengeruh, tubuh mereka tidak lagi berwarna seperti pelangi, dan pelangi itu mulai pergi terbawa cahaya matahari, kekekalan tidak ada pada hari itu. Yang ada hanyalah tujuh patung retak yang mulai habis berjatuhan. Titik kehidupan kini menjadi titik kematian yang tiada henti.
Para murka tertawa dengan senang hati, kini dia meraih semua itu, “ aku adalah penguasa kesengsaraan, sayap-sayap kehidupan kini hilang terbawa hempasan pasir, dan kini aku menjadi penguasa kehidupan, keindahan kini menjadi musuhku, wahai kaum iblis, datanglah..datanglah kepadaku, pesta besar akan segera dimulai, kini tidak ada cahaya yang abadi, yang ada hanyalah kesengsaraan. Datanglah datang siapapun kamu pengelana, penyembah, pencinta berpergian tidaklah penting. Milik kita bukanlah kereta kensengsaraan, sekalipun telah kamu ingkari janji janji seratus kali, datang, ya lagi…lagi” para penguasa kini menjadi radja di tengah kegelisahan para gadis-gadis kecil, gadis itu menatapnya dengan penuh ketakutan. Kini kesengsaraan semakin banyak dan menguasai keindahan. Gadis itu mulai tersentuh hatinya tanpa luka yang sangat sedikit sakit. Kegelisahan semakin menguasai tubuh dan hati gadis-gadis mungil itu, kekejaman semakin menindasnya. Tidak ada kerajaan langit tanpa seruling angin, tidak ada kerajaan awan tanpa cahaya yang merona, tidak ada yang menghiasi bumi tanpa keistimewaan. Sosok gadis merah yang mencoba untuk terbang dengan mengayunkan sayapnya perlahan-lahan, tapi apa yang di hasilkan hanyalah rasa yang menusuk dada. “ mataku saling menelungkup, apa yang harus di lakukan. Lihatlah diriku, karena cahaya mataku itu sesungguhnya adalah kamu sendiri” rambut yang tadinya berwarna merah kini hilang tanpa warna. Hasrat biadap sekarang telah ada didepan, diatas bibir-bibir yang tenggelam di laut yang berwarna merah, kebiadapan semakin terlihat.
Ketika cahaya mega menyentuh derai hujan yang terlarut hitam, mataharipun bergalaksi bersama empat belas air mata yang berwarna nan berseri, “jiwa rohanimu lapar raga luarmu terlampar gemuk, setan makan dengan rakus sampai jatuh sakit, bahkan radja meminta-minta seiris roti obatnya ditemukan manakala ia ditemukan disini diatas bumi ini. tetapi ketika warna kembali kesyurga semua harapan telah lenyap. Hasratnya sendiri ada di depan tujuannya sudah berbeda mereka tidak lagi sepakut ”permintaan terkecil dan ratapan teringannya tanpa penangguhan, itu semua karena suara ratapannya begitu manis di telinga. Jawaban gadis merah tidak terucap dalam harapan-harapan bahwa dia mungkin akan meratap lagi dan lagi karena bunyi suara para gadis itu begitu manis. Do’a-do’a selalu mereka panjatkan, matahari seakan tidak akan lagi berjalan, kini layung-layung tergores dan terluka. Apakah mungkin dewa-dewi air tidak mampu lagi berjalan? Puteri-puterinya retak, mereka tidak lagi bercahaya.
Setan semakin rakus, lautan kini menjadi permata-permata yang suci, dunia seakan sepi dalam pandangan mereka yang terperungkup dalam kegelisahan. Tidak ada titik kehidupan lagi? Itu yang selalu mereka pikirkan. Sosoknya berlayar bersama setan di atas api neraka, kepasrahan yang di raihnya. gadis-gadis itu berjiwa murung, menjalani hari dengan letih dan lungay, jalan berliku terus berlalu jangan biarkan dia terlepas dari kebisuannya, setan selalu bersorak-sorak, iblis berpesta poya. Hempaskanlah jiwa ini dalam ruang yang tidak pernah ternoda.
Seorang kakek tua yang berpakaian serba putih mendekati gadis-gadis itu yang sedang di kelilingi para dedemit. Wajah kakek itu bercahaya dan terlihat kesucian yang mendalam, semakin dekat-semakin mengkilau, sungguh …. Tidak berdaya gadis itu, mereka menjadi mangsa-mangsa neraka. Ketika cahaya kakek itu semakin dekat matahari mulai hidup, setan, iblis, penguasa kesengsaraan, pengelana tidak kuat menahan cahaya itu, tubuh mereka terbakar bersama dosa-dosa yang mereka miliki. “jangan anggap para wali itu tidak lagi berjalan di jalan ini, sempurna dalam cara hidup, kekasih-kekasih Allah SWT yang tak berjejak ini karena kamu tidak mampu melihat rahasia-rahasia mereka melalui matamu, kamu berkhayal dalam kesombonganmu yang sia-sia, tidak ada lagi yang mampu mendapatkan hadiah itu”
Bawalah mereka kerantai mereka
Lalu bakarlah mereka di syurga
Lalu bakarlah mereka dalam kesatuan
Lalu bakarlah mereka dalam keindahan
Lalu bakarlah mereka dalam kesempurnaan

Kelegahan hati para gadis itu mulai ada dan terlihat pada hatinya. Api semakin besar membara diatas tubuh-tubuh yang bedosa. Panas..panas yang terucap, kereta kesengsaraan membawanya kedalam neraka jahanam. Penunggu para pintu-pintu kesengsaraan, syurga kini bercahaya lagi kasturi semakin membau di depan pintu-pintu syurga. Keindahan mulai terlihat dan tumbuh kembali. Kakek itu seakan cahaya malaikat yang menolong gadis-gadis itu. Warna yang dulunya pudar kini kembali murni, sayap-sayapnya mulai berterbangan senyuman menjadi penerang hatinya. Racun untuk dihirup ketika zat yang indah memenuhi piala itu, kata-kata pahit dan manis didengar sang pembicara adalah orang-orang yang terkasih. Cintanya penuh kesenangan yang pernah di nantinya. Kakek tua itu mendekati para gadis-gadis pelangi. Dan terlihat mereka bercakap-cakap.

Gadis biru “kamu adalah transkip sejati dari arketi Ilahi, sebuah kaca tempat keindahan matahari memancarkan sinar dari dalam dan dari luar kemana saja ia tergeletak menerima setiap hasrat dan berteriak, inilah aku"
Gadis-gadis itu tersenyum dan bersujud pada penyelamat mereka. “aku cerminmu, aku ukuranmu sebanyak sosokmu, sebesar itu pula perbendaharaanku”

Gadis Nila “bagai mana aku bisa menjauh ketika kamu adalah kebutuhan kami. Tuhan memberi orang-orang dewasa nafsu anak muda. Usia tua itu luar biasa ketika uban melalui menampak dan kelucuan mulai mengamuk”

Gadis Jingga “namamu mengikat lidahku, bayangmu dalam pandanganku , kenanganmu dalam hatiku, kemana harus ku kirim kata-kata yang aku bingkai ini”
Perbincangan mereka merintih kesedihan dan permohonan pada penyelamat mereka. Mereka merasa nyawa dalam hidupnya hanya ada dalam sepucuk cahaya yang kakek itu miliki, kesempurnaan yang dia miliki adalah kesempurnaan yang mereka miliki juga, kebahagiaan yang dia miliki adalah kebahagiaan yang mereka miliki juga, jiwa suci adalah jalan hidup mereka. “malam itu panjang jangan memendekan dengan tidurmu, siang itu terang jangan menggelapkan dengan dosa-dosa yang kamu miliki”

Gadis Kuning “aku berdo’a semoga wajah berhala rembulan itu hidup seratus tahun, hatiku yang setia gemetaran untuk tangkai-tangkai air mata. Dalam debu pintunya hatiku begitu bahagia, begitu mati. Tuhan semoga debunya bersemayam dengan bahagia selamanya”
Gadis Hijau “aku menderita kesalahan yang tak akan terkatakan, tidak seorangpun mendengar ampunku atau teriakanku. Sebagaimana lilin yang telah meleleh, tak seorangpun tau air mataku berjatuhan, muncul dari kedekatannya dengan api. Atau kerinduan seekor lebah kepada manisnya madu. Sekarang berpisah”
Sorotan air mata semakin menusuk bola matanya, siuran angin semakin membesar dengan tarian para awan, senyuman para langit menjadi saksi mereka “ bicaralah dengan manis ketika melintas penggunungan mengapa kamu meringik seperti keledai?, biru langit mengirimkan kembali pesan itu, tentang kemanisan dari tenggoranmu sendiri “

Gadis ungu “mengapa kebenaran tidak mungkin datang tanpa penjara dan penderitaan ? seribu keinginan mengisi kami yang baik maupun penipu, dan pertentangan antara hantu-hantu ini membawa seribu siksaan yang menjadikan kami sangat lelah”
Matahari, langit, awan, angin dan air mereka menjadi saksi cobaan yang pernah di alami para gadis itu, mereka seolah menjadi bisu, hantinya bergetar, yang teringat hanyalah kematian. Pertentangan antara kematian dan kehidupan pernah di alamianya. “sebelum kamu melihat, bagai mana kamu menemukan? Ini berlaku untuk semua kecuali para pencinta, karena bagaimana bisa mereka mencari sang kekasih karena buta” kakek itu kelak menghilang secara perlahan-lahan. Dan cahaya mulai meredup dan lenyap. Matahari, langit, awan, angin dan air semuanya terkaget dan merasakan apa yang dirasakan oleh gadis-gadis itu yang kehilangan jalan hidupnya. “ oh tuhan mereka menagis lagi, waktu itu kami berada dalam keadaan yang begitu buruk seketika, dengan penuh kesungguhan kami memohon pada-Mu dari sudut-sudut penjara kami. Engkau telah mengabulkan permintaan kami untuk seratus do’a. sekarang terbebaskan dari penjara kami masih berada dalam kurungan yang sama besarnya. Bawalah kami keluar dari dunia kegelapan ini untuk memasuki dunia para Nabi atau dunia cahaya” rintihan hati dan tangisan para saksi penderitaan merekapun ikut bersedih.” Oh penguasa semua cerita kebenaran, bagai mana aku bisa sebut munafik, bersama orang-orang aku hidup dan bersama orang mati aku duduk sebagai mati” Mereka mencoba pergi dengan kesedihan. Sayapnya mulai menggoyang warna kini menjadi warna. Kini dunia kembali menjadi indah. Secara bersamaan mereka terbang dan berkata “ketika cerita mencapai tujuan akhirnya hasrat kembali menjadi kebencian”. Kini dunia menjadi sempurna. Warna-warni kehidupan telah kembali, keindahan tumbuh kembali. Seakaan dunia makan dengan daging atau roti panggang, minum anggur yang paling dicintai, betapa wangi bibirmu ! betapa indah tegukan seorang pemimpi, ketika esok engkau terjaga dan kehausan meradang sedikit saja aku. Seakan berguna untuk mengambil tegukan yang telah dibawa dalam mimpi, bagaimanapun mimpi adalah khayalan. []
Tags: Novel